TANJUNG REDEB – Komisi II DPRD Kabupaten Berau menyoroti membengkaknya angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati Berau Tahun Anggaran 2024 yang mencapai Rp 893 miliar. Angka ini dinilai terlalu besar dan mencerminkan lemahnya koordinasi, perencanaan, serta rendahnya serapan anggaran oleh sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD).

Ketua Komisi II DPRD Berau, Rudi P. Mangunsong, mengatakan SiLPA yang besar merupakan cermin dari birokrasi yang tidak efektif. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbang), ia menyebutkan bahwa kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan.

“Anggaran yang tidak terserap secara optimal berarti pemerintah gagal mengelola hak rakyat. Ini bentuk ketidakefektifan birokrasi yang merugikan masyarakat,” ujar Rudi.

Ia menegaskan bahwa sebagai institusi yang menjadi motor penggerak pembangunan, Bapelitbang tidak cukup hanya menyusun dokumen kebijakan semata. Lembaga tersebut juga harus mampu menjembatani kebutuhan masyarakat dan menyusun strategi pembangunan berbasis data dan kebutuhan riil di lapangan.

“Bapelitbang harus mengoordinasikan seluruh OPD sejak tahap perencanaan hingga implementasi di lapangan. Tidak boleh hanya berperan administratif,” katanya.

Rudi juga mendorong diterapkannya sistem penghargaan dan sanksi berbasis kinerja dalam pengelolaan anggaran. Menurut dia, OPD yang menunjukkan serapan anggaran tinggi dan berdampak positif layak diapresiasi, sedangkan yang tidak mencapai target harus diberi sanksi tegas.

“Alasan klasik seperti keterlambatan administrasi atau kendala regulasi tidak bisa lagi jadi pembenaran. Sudah saatnya ada mekanisme evaluasi yang konkret dan transparan,” ucapnya.

Tak hanya soal teknis anggaran, Komisi II juga menyoroti fokus pembangunan daerah yang masih terlalu berat pada sektor pertambangan. Menurut Rudi, dominasi tambang dalam struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Berau menyebabkan sektor-sektor lain—seperti pertanian dan perikanan—terpinggirkan.

“Padahal masih banyak petani yang kesulitan mengakses pupuk, nelayan yang kekurangan alat tangkap. Ini kebutuhan dasar yang mestinya jadi prioritas,” katanya.

Meski mengakui bahwa keberadaan SiLPA tidak sepenuhnya bisa dihindari dalam siklus anggaran, namun besarnya nilai tahun ini, menurut dia, menunjukkan ketidaksiapan sistem perencanaan dan eksekusi.

“Ketidakoptimalan itu merata, dari sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sampai urusan pertanahan,” ungkapnya.

Rudi juga menambahkan bahwa DPRD telah berupaya mempercepat proses pembahasan anggaran agar tidak menghambat pelaksanaan program. Namun, menurutnya, sebaik apapun perencanaan di atas kertas, tetap akan sia-sia bila tidak ada eksekusi di lapangan.

“APBD adalah uang rakyat. Kalau tidak dimanfaatkan maksimal, maka yang dirugikan adalah rakyat sendiri,” pungkasnya.