Kematian Massal Ikan di Maratua: Alam, Kelalaian, atau Limbah?
Tanjung Redeb – Ratusan juta rupiah kerugian dialami para nelayan budidaya di Maratua setelah ribuan ikan mati mendadak dalam sebulan terakhir. Menanggapi kondisi ini, Dinas Perikanan Kabupaten Berau menilai faktor teknis budidaya menjadi penyebab utama, namun tetap berkoordinasi dengan pihak provinsi untuk pendalaman kasus.
Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Berau, Yunda Zuliarsih, menyebut sebagian besar ikan budidaya di Maratua sebenarnya berasal dari hasil tangkapan alam, bukan murni hasil budidaya penuh. Ikan-ikan tersebut biasanya ditangkap dari perairan dalam sekitar 20 meter kemudian ditempatkan ke dalam keramba nelayan yang kedalamannya hanya sekitar 10 meter.
“Ikan tersebut umumnya hanya ditampung selama satu bulan sebelum diekspor ke Hongkong. Namun karena tidak ada ekspor dalam tiga bulan terakhir, waktu penampungan menjadi terlalu lama, sehingga risiko kematian meningkat,” jelas Yunda dikutip dari okegas.id.
Ia menambahkan, perbedaan suhu antara habitat asli ikan di laut dalam dengan kondisi di keramba permukaan turut memicu stres pada ikan. Selain itu, tingginya kepadatan tebar, kurangnya kualitas pakan, dan kebersihan keramba menjadi faktor lain yang diduga memperburuk kondisi.
Meski demikian, Dinas Perikanan Kabupaten mengakui bahwa kewenangan pengawasan dan pengelolaan budidaya air laut berada di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kalimantan Timur.
“Kami sudah melakukan koordinasi dengan pihak provinsi, termasuk untuk pengawasan limbah dan kondisi lingkungan perairan di sekitar lokasi budidaya,” ujarnya.
Yunda menyebut pihaknya sedang mengagendakan pengecekan suhu dan kualitas air di lokasi budidaya. Langkah ini dinilai penting untuk membandingkan suhu di permukaan dan dasar laut yang berpotensi memicu fenomena upwelling yakni naiknya air dingin dari dasar laut yang membawa kandungan nutrien tinggi namun dapat berdampak buruk jika terjadi mendadak.
Sebagai langkah lanjutan, Dinas Perikanan memberikan beberapa rekomendasi kepada nelayan agar kerugian tidak berulang, antara lain menjaga kebersihan keramba, tidak menebar ikan terlalu padat, serta tidak terlalu lama menampung ikan sebelum dijual atau diekspor.
“Kami juga mendorong nelayan untuk mulai menerapkan program Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), dengan tetap melakukan koordinasi aktif dengan DKP Provinsi,” tegas Yunda.
Ketika disinggung soal dugaan pencemaran limbah dari resort yang berada di sekitar area budidaya, Yunda tidak memberikan pernyataan spesifik, namun menegaskan bahwa pengawasan terhadap potensi pencemaran merupakan bagian dari tugas DKP Provinsi.
Kasus ini menjadi tugas penting bagi seluruh pelaku budidaya di kawasan pesisir, khususnya di Maratua, untuk lebih memperhatikan aspek teknis dan lingkungan agar keberlanjutan usaha mereka tetap terjaga. (Dp/lit)
