TANJUNG REDEB – Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Tanjung Redeb hingga kini masih sangat kekurangan guru pengajar. Bahkan, jumlah guru yang mengajar hanya 22 orang, dengan jumlah siswa sebanyak 239 orang.

“Kalau dengan total jumlah segitu harusnya jumlah gurunya 50-60 orang, itu idealnya. Karena satu guru itu maksimal memegang 3 siswa saja. Saat ini mau tidak mau satu guru menghandle lebih dari 3 siswa,” ujar Ketua Forum Peduli ABK Berau, Agustam yang juga menjadi salah satu pengajar di SLB yang berlokasi di Jalan Durian II Tanjung Redeb tersebut.

Ditemui beberapa waktu lalu, Agustam menyebut jika permasalahan kurangnya guru khusus SLB ini telah diajukan berulang kali ke Pemkab Berau. Namun, hingga saat ini belum ada solusi dari masalah itu.

“Jadi kendalanya, yang pertama untuk guru dengan background pendidikan luar biasa (PLB) itu sangat minim di Berau. Yang kedua, memang karena peminatnya untuk Kabupaten Berau itu sangat minim juga. Begitu dibuka PPPK, yang dibutuhkan 100 lebih, yang daftar paling satu orang,” bebernya.

Dijelaskannya juga, untuk kebutuhan guru SLB ini prioritas utamanya adalah di tingkat provinsi Kaltim terlebih dahulu. Jadi saat ada pengajuan untuk mengajar maka SLB di provinsi yang didahulukan kuotanya.

“Jadi kami tinggal sisanya saja. Saat mereka sudah terpenuhi kuotanya baru dialihkan ke daerah. Karena di provinsi pun masih kekurangan,” imbuhnya.

Ditanya mengenai guru umum yang hendak mengajar di SLB, dikatakan Agustam tidak bisa. Karena di SLB memerlukan tenaga pengajar dengan pendidikan khusus, yang benar-benar memahami kondisi anal berkebutuhan khusus.

“Beda dengan guru inklusi. Karena SLB ini benar-benar khusus. Bahkan kemarin juga sempat diminta agar guru yang mengajar kelas inklusi, adalah guru PLB. Nah, bagaimana kelas inklusi bisa diajar oleh guru PLB, sedangkan kami di SLB pun masih kekurangan,” tutupnya.

Ditanya tantangannya mengajar di SLB, dikatakannya mayoritas adalah di orang tua si anak. Beberapa orang tua, memang masih belum paham bahwa anaknya masih perlu edukasi. Bukan hanya di sekolah, tapi perlu layanan okupasi, perlu terapi bicara, dan layanan pendampingan pendidikan lainnya. Namun kebanyakan orangtua hanya berfokus kalau pendidikan di SLB sudah selesai itu sudah cukup. (Amel)